Ada Apa 32 Tahun Lalu?

M.
5 min readMay 13, 2024

--

“Mami inget nggak, kira-kira 32 tahun lalu jam segini itu Mami sama Papi lagi ngapain?” tanyaku petang tadi, sepulang kantor.

Hari ini aku menemukan rute pulang terbaik dengan bus TransJakarta. Waktu perjalanan pulang yang kuhabiskan hanya sekitar satu jam saja dari kantor. Biasanya aku menghabiskan dua jam untuk perjalanan kantor ke rumah. Padahal, durasi perjalanan dari rumah ke kantor itu sekitar satu jam setengah.

Photo by Ant Rozetsky on Unsplash

Karena sampai di rumah lebih cepat — sekitar jam enam petang, Mami masih terlihat santai sambil memasak makanan untuk bekal acara komunitasnya Jumat nanti. Mami cukup kaget melihatku sudah pulang jam segitu. Beliau tahu bahwa perjalanan pulang di Jakarta itu sungguhlah jahanam.

“Eh, tapi Mami ada makanan nggak? Mumpung masih sore nih, bisa makan malam dulu nih,” kataku lagi. Aku sedang menghindari makan malam. Jadi, aku membatasi waktu jendela makanku.

“Ada tuh. Mami tadi ada arisan, trus makannya pada nggak habis. Jadi, Mami bungkus bawa pulang,” katanya sambil menunjuk bungkusan makanan. “Tapi, nasinya belom mateng.”

“Lha, gimana dong?” tanyaku.

“Ya ada sih nasinya, tapi dikit. Jadi, nggak bisa nambah ya,” katanya.

“Nggak apa deh, seadanya aja,” ujarku, lalu aku mengambil sendok dan sedikit kerupuk sebagai teman makan malamku. Mami lalu sudah menyodorkan piring nasi dengan lauk. Aku sebenarnya tahu bahwa itu adalah makanan yang tengah Mami santap, tapi belum selesai.

Jadi, kutanya lagi, “Ini kan makanan Mami. Nggak apa gitu aku makan?”

“Mami udah selesai makan kok. Itu lebihnya aja. Abisin aja udah, biar bisa dicuci piring sekalian,” jawab Mami. Okelah, aku tidak mau berdebat lagi.

Mami memang selalu seperti itu; aku hanya bertanya ada atau tidak makanan supaya aku bisa menyediakan di rumah untuk kami makan, tapi Mami malah menyediakan makanannya di piring untukku. Kadang aku merasa tidak enak karena Mami segitunya banget padaku. Ya semoga kamu paham maksudku.

Bukan hal yang buruk sebenarnya, tapi aku merasa itu tidak perlu. Tapi, ya sudahlah; yang penting itu Mami senang.

Photo by Lampos Aritonang on Unsplash

Sambil menyantap makan malam yang sudah Mami sediakan, aku mengulang pertanyaan pertama tadi lagi. “Mami masih inget nggak hari ini 32 tahun lalu itu lagi ngapain?”

“Apa ya…”

“Kayaknya itu hari Rabu kan ya, Mi?”

“Kamu lahir hari Kamis. Ya berarti betul, hari Rabu.”

“Nah, inget nggak Rabu 32 tahun lalu lagi ngapain sama Papi?” tanyaku lagi, untuk ketiga kalinya.

“Mami inget lagi pergi ke pasar trus ngegosip di sana, hahahahahaha,” katanya sambil terkekeh. Aku mana pernah membayangkan bahwa pada usia inilah, hubunganku dengan Mami bisa se-santai dan se-terbuka ini.

“Yeeee… Lagi hamil tua padahal lho itu. Maksudnya, pas malam gitu. Lagi ngapain sama Papi gitu?”

“Lagi apa ya… Yang pasti sih, Papi cuti kerja hari itu. Dulu kantornya Papi ngasih cuti tiga hari untuk karyawan pria yang istrinya mau dan sudah melahirkan, lho!” kata Mami bangga. Ya sekarang masih ada, sih… meski sekarang sudah mulai ada pembicaraan untuk menambah jumlah harinya menjadi sebulan(?). Aku kurang paham juga, jadi aku senang saja melihat Mami bercerita demikian.

“Masa itu aja sih?” tanyaku.

“Mami kayaknya tidur cepet sih waktu itu. Soalnya besoknya mau berangkat pagi-pagi ke rumah sakit, takut macet. Jam tujuh pagi, Papi dan Mami sudah sampai di rumah sakit.”

“…Tapi, memang proses melahirkan kamu itu hitungannya cepet sih. Jam tujuh pagi masuk rumah sakit, jam tiga sore udah langsung brojol tuh…”

“Mami nggak langsung pulang tuh, abis lahiran. Nginep dulu seminggu di rumah sakit, baru pulang.”

Aku langsung bertanya, “Kok nggak langsung pulang?”

“Hahahahaha, kalo langsung pulang, nanti nggak ada yang urus bayinya. Jadi, Mami di rumah sakit aja dulu biar ada yang bantu urus bayi,” kata Mami. “Trus, pas mau pulang, itu temen Mami juga lahiran di rumah sakit yang sama. Itu lho, temenmu yang dari TK udah bareng, si Dee.”

“Oh iya sih, emang ulang tahun kita deketan. Tapi, nggak nyangka juga sih Mami dan mamanya sampe sedeket itu. Sampe satu TK dan SD bareng gitu,” komentarku.

“Itu waktu mamanya Dee mau lahiran kan tegang banget tuh. Saking tegangnya, sampe telepon Papi buat pinjem gimbot Tetris.”

Photo by Nik on Unsplash

“Wahahaha! Gimbot Tetris warna abu-abu itu? Gile, itu gimbot legendaris banget dong. Aku aja sempet masih bisa main sampe SMA,” aku jadi ikut terkenang juga. Tidak menyangkan bahwa gimbot Tetris itu jadi saksi bisu pernikahan Papi dan Mami. Aku jadi teringat bahwa Tetris itu juga membuatku menyukai gim yang tipenya arkade; durasinya pendek, permainannya mudah, dan bisa diulang-ulang lagi. Itu yang membuatku masih memainkan Candy Crush hingga kini.

“Iya, jadi papanya Dee tuh juga sempet komplen tuh. ‘Duh, ternyata punya anak jadi nggak bisa tidur malam ya. Kebangun terus gara-gara anak nangis atau buang air,’ katanya,” cerita Mami.

“Emangnya pas aku nangis gitu Papi nggak bantu ngurusin?” tanyaku, penasaran. Aku jujur menaruh ekspektasi yang serendah mungkin untuk jawaban Mami. Tapi, Mami bilang…

“Bantuinlah. Tapi, kan ngurusin bayi nggak cuma susu doang. Buang airnya kan juga. Nah, itu tuh yang terberat, hahahaha.”

“Zaman dulu mah, mana ada popok kayak sekarang. Semuanya pakai kain. Jadi ya, kudu ganti malam-malam kalo misalnya pipis atau malah pup.”

“Mami sih biasa kasih jam sih. Maksudnya, udah dikira-kira nih, jam segini kamu bakal pipis atau buang air besar. Jadinya, pake popoknya pas lagi tidur malem aja. Biar nggak boros dan… emang Mami nggak mau rugi aja sih, hahaha!” Mami tertawa mengingat masa itu. “Lagian popok pada zaman itu kan mahal. Itu aja popoknya dikasih mamanya Dee.”

Aku jadi ikutan tertawa. Menurut beberapa cerita Mami, rumah tangga Mami Papi benar-benar pasang surut, terutama soal finansial. Jadi, Mami sebagai ibu rumah tangga, punya tanggung jawab besar untuk menjaga stabilitas moneter di rumah jika finansial lagi “surut”.

“Trus, lanjutin dong ceritanya, Mi.” Aku menuntut cerita yang lebih panjang dan komprehensif!

“Sudah, sudah… Nanti lagi ceritanya. Kamu mandi dulu aja sana,” kata Mami, sambil memotong wortel. “Piring bekas makannya sekalian dicuci ya!”

--

--

M.

Halo, aku punya perasaan buruk tentang diri sendiri. Harap maklum untuk tulisan 40% kegundahan batin, 35% kegaduhan kepala, dan sisanya kepikiran aja gitu.