Apa Tulisan-Tulisanku di Sini Membantumu?

M.
3 min readNov 6, 2021

Beberapa hari ini, aku merasa kurang baik. Badanku sehat, tapi pikiranku seperti sedang bermain tebak-tebakan.

Kalau misalnya A, gimana?
Nanti kejadian B udah siap belom?
Emangnya kalau kenyataannya C, gimana?
Dia bilang D, lho, yang bener. Masih mau ngeyel juga?
Yang lain bilang E juga, lho. Masa nggak percaya, sih?

Aku, mungkin seperti pada orang umumnya, seringkali menunda-nunda untuk menemui psikolog atau mencari bantuan serupa. Tidak bekerja membuatku harus pintar-pintar memilih mana yang menjadi prioritas atau tidak. Aku tidak bilang bahwa menemui psikolog itu tidak penting, hanya saja kupikir ini masalah yang kubuat-buat sendiri.

Aku jadi teringat saat masih kerja 6 bulan lalu. Bulan April lalu, aku sudah hampir menulis surat wasiat tentang bagaimana aku ingin uang tabunganku dihabiskan dan untuk siapa saja. Sambil menangis, tentu saja. Macam orang gila. Bayangkan saja, setiap pagi aku bangun tidur karena kaget takut terlewat jam kerja. Aku juga makan siang di depan laptop sambil membuat laporan. Belum lagi, telepon konferensi antar tim yang juga sama saja menghabisakan waktu, tenaga, dan kewarasanku. Aku sudah tahu nasib otakku saat itu, seperti kanebo kering yang sudah lama tak terpakai — mengkerut.

Photo by Simon Abrams on Unsplash

Setelah berhenti bekerja, aku masih mengalami basian dari trauma stres bekerja di kantor itu. Kira-kira sebulan deh, baru bisa terbiasa. Bangun tidur masih sering kaget. Menjalani hari-hari dengan terburu-buru. Merasa tiap hari harus produktif — kalau tidak, kayaknya dosa banget. Sekarang mah, bisa dibilang, aku jauh lebih tenang. Masih suka panik tiba-tiba, tapi masih aman.

Sebelum memutuskan untuk berhenti bekerja pun, aku juga sempat patah hati tahun lalu. Beberapa orang yang hanya melihatku secara daring atau menemuiku sesekali saat luring, tidak benar-benar keadaanku yang sebenarnya. Aku sering menghapus media sosial untuk menenangkan diri, setidaknya sebulan sekali. Bukan menghapus akunnya, hanya app-nya saja untuk menghindari ditanya-tanya lebih lanjut.

Menulis menjadi caraku mengomunikasikan apa yang aku rasa. Kulakukan di banyak tempat, sebenarnya, hahaha. Kadang aku menulis di buku. Tujuannya, biar lebih cepat lelah. Tapi, cara ini bikin aku kadang was-was karena malas sekali jika harus menjelaskan ke orangtuaku apa yang terjadi. Kadang pula aku menulisnya di catatan HP atau laptopku. Mereka ini menjadi kawan karibku sih. Tapi, kadang aku juga was-was kalau sewaktu-waktu catatan ini hilang karena kelalaianku dengan perangkat canggih macam ini. Entah ada virus apalah atau kepencet hapus tanpa sadar, dll. Jadi, aku memilih catatan daring, seperti Medium ini.

Beberapa tulisan di sini ditulis saat aku lagi kalut dan menulis membantuku menenangkan diri, sekalian mengidentifikasikan apa yang aku rasakan. Tulisan di sini malah seringkali berakhir “tragis”, alias tidak ada pesan motivasi atau inspirasi macam Mario Teguh. Kadang kupikir kasihan ya orang-orang apes ini; membaca tulisan di laman ini untuk mencari jawaban atas masalah yang sama-sama dihadapi, eh, sudah dibaca, malah penulis dan pembacanya sama-sama bingung. Hahahaha, maafkan ya.

Aku rasa semua orang (termasuk aku) tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi masalahnya. Tapi, menyangkal adalah jalan ninjaku dan berharap tidak melakukan apa-apa bisa menyelesaikan masalah. Aku juga seperti orang-orang pada umumnya; menyangkal dan masih membutuhkan jawaban kepastian (reassurance) dari orang lain.

Jika kamu berada di posisi ini, kita berada di jalan ninja yang sama. Membaca tulisan ini mungkin tidak membantumu apa-apa, tapi setidaknya kamu tahu bahwa ada orang lain di belahan dunia lainnya juga mengalami hal kurang lebih sama denganmu. Dan, itu normal. Jadi, tetap bertahan dan mari sama-sama hadapi masalah kita masing-masing meski lebih enak disangkal. Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari saat membaca tulisan-tulisan di sini.

--

--

M.

Halo, aku punya perasaan buruk tentang diri sendiri. Harap maklum untuk tulisan 40% kegundahan batin, 35% kegaduhan kepala, dan sisanya kepikiran aja gitu.