Diam Tidak Selalu Emas

M.
2 min readMay 30, 2021

Aku bukanlah orang yang pemberani. Maksudku, ya aku bukan penakut juga. Hanya saja aku merasa kadang aku lebih memilih untuk tidak melakukan beberapa hal tertentu. Tujuannya seringkali karena aku menghindari drama.

Contohnya, ada orang kantor yang mungkin berusaha untuk menjatuhkan diriku saat tim kami rapat. Dia menuduhku tidak melakukan apa-apa sehingga target perusahaan tidak tercapai. Padahal, tidak demikian. Aku tidak seperti yang ia tuduhkan. Tapi, terkadang aku malas berurusan dengan orang itu, sehingga aku lebih memilih diam. Aku pun jadi malas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hingga akhirnya tindakan “diam”-ku itu dipakai olehnya sebagai bukti bahwa memang benar aku ini seperti “makan gaji buta”.

Aku memang sering memilih zona aman saat memutuskan sesuatu. Memang ya orang itu lebih mudah bacot dibanding melakukannya. Contohnya saja, aku sering menunggu orang memutuskan apa yang harus kupilih. Tapi, jika dipikir-pikir, aku juga sering sih bosan menunggu hingga akhirnya memutuskan sendiri.

Dari semua hal itu, satu hal yang membuatku takut adalah hasil atau respon balik.

Aku setuju saat orang bilang kalau kita ini nggak bisa mengontrol orang lain, termasuk tindakannya. Tapi, kita bisa mengontrol respon kita. Nah, dalam kasusku, aku tidak siap dengan “tindakan orang lain” dan bagaimana aku akan meresponnya. Apakah aku siap untuk menghadapinya? Lalu, apakah yang akan terjadi setelahnya? Masa sih aku nggak boleh merespon dengan hal yang sama saat ia meresponku? Apakah aku akan menyesal jika melihat responnya? Bagaimana dengan pendapat orang lain kalau aku mengutarakan keinginan dan maksudku? Dll.

Pada akhirnya, aku dihancurkan oleh pikiranku sendiri dan memilih untuk diam. Padahal, aku tahu betul bahwa diam tidaklah menyelesaikan masalah.

Lalu, apa yang aku telah lakukan untuk bisa lebih berani? Tidak banyak, sesungguhnya. Aku beberapa kali mengatakan pada pacarku bahwa aku ini penakut dan pasif sekali. Aku juga baru saja berterima kasih padanya karena ia nggak menyerah begitu saja untuk mendorongku lebih berani untuk mengutarakan keinginanku. Aku pun menuliskan kelemahanku itu di sini untuk mendokumentasikan bahwa aku ini manusia yang tidak melulu harus sempurna di mata orang lain.

Mungkin setahun-dua tahun lagi aku masih berusaha untuk mengatasi ketakutanku ini. Atau, malah jadi tambah buruk? Setidaknya tulisan ini jadi dokumentasi bahwa aku tidak lagi perlu malu mengakui aku tidak sempurna.

--

--

M.

Halo, aku punya perasaan buruk tentang diri sendiri. Harap maklum untuk tulisan 40% kegundahan batin, 35% kegaduhan kepala, dan sisanya kepikiran aja gitu.