Kerja Regular

M.
2 min readMay 4, 2021

Tebak siapa yang baru saja melewati dua hari tidak bekerja kantoran.

Aku masih berpikir bahwa aku bisa jadi tidak mampu bertahan tanpa pekerjaan regular. Padahal, sebenarnya pekerjaan itu bisa jadi bukan soal di mana, tapi siapa. Atau, bukan perkara apa, tapi kenapa. Atau, bukan tentang berapa, tapi bagaimana.

Ada masanya di mana aku merasa kantor jadi tempat yang menyenangkan untukku mengaktualisasikan diri. Aku ingat betapa bersemangatnya aku pergi ke kantor dan bekerja di sana. Pergi jam 9 pagi, sampai di kantor jam setengah 11 karena menggunakan kendaraan umum, bekerja bersama kolega hingga jam setengah 7 malam, lanjut kerja sendiri hingga jam 9 malam, lalu pulang dan sampai di rumah jam setengah 11 malam. Aku tidak pernah merasa itu beban, apalagi perhitungan dengan berapa banyak waktu kuhabiskan di jalan. Sesaat aku menyadari bahwa bukan masalah di mana, tapi bersama siapa aku bekerja. Bersama mereka, aku seperti pulang ke rumah kedua. Tapi, saat rumah itu “diganggu” dan beberapa orang sudah mulai keluar, keadaannya sudah tidak semenyenangkan dan senyaman itu lagi. Hingga, keluar dari rumah itu jadi pilihan terbaik.

Pekerjaan untuk posisi tertentu mungkin rasanya sama saja. Contoh, untuk posisi menjadi manajer konten, setidaknya kamu akan diberi pekerjaan untuk mengelola konten di platform A, B, C. Tentu saja, kamu akan diberikan pekerjaan lain, entah itu strategis, perencanaan, atau sekadar administratif macam mengumpulkan data metrik untuk kampanye tertentu. Namun, pekerjaan ini jadi bermakna saat menyadari kenapa aku mau melakukan semua pekerjaan ini; emak-emak ceriwis yang mencari informasi soal pengasuhan dan kehamilannya. Kalau diingat, aku masih suka kesal bagaimana ibu-ibu ini suka berbuat yang tidak terduga, tapi aku bisa jadi seperti mereka jika sudah menikah dan punya anak; melakukan berbagai cara untuk memenangkan hadiah atau hanya sekadar aspirasiku didengarkan oleh orang-orang tertentu. Aku mungkin saja akan sebawel dan senyebelin itu jika berada di posisi mereka.

Pertumbuhan seringkali dikaitkan dengan angka. Naik-naik terus hingga ke puncak. Padahal, pertumbuhan instan jarang sekali berkelanjutan. Naik cepat, turun juga cepat. Aku belajar ini dengan cara yang kurang menyenangkan. Aku tetap percaya pada proses yang tidak akan mengkhianati hasil. Aku yakin proses panjang akan memberikan hasil yang lebih baik dan berkelanjutan. Sayang saja kalau misalnya sudah mengorbankan banyak hal untuk hasil yang instan, akan sia-sia karena tidak sabar. Akhirnya, toh aku kalah juga karena kesabaranku bukanlah kesabaran mereka.

Tapi, apalah arti itu semua kalau memang bukan kamu yang memegang kekuasaan.

--

--

M.

Halo, aku punya perasaan buruk tentang diri sendiri. Harap maklum untuk tulisan 40% kegundahan batin, 35% kegaduhan kepala, dan sisanya kepikiran aja gitu.