Tentang Bacotan yang Memperkeruh Keadaan

M.
2 min readOct 16, 2021

Saat kesal, aku rasanya ingin sekali memposting kemarahanku di media sosial sekaligus berharap orang yang membuatku kesal itu baca. Di sisi lain, aku juga tidak ingin menjelaskan pada orang lain tentang amarahku saat mereka bertanya. Rasanya kepingin sekali aku memperlakukannya sebagaimana ia memperlakukanku di depan umum. Tujuannya, supaya dia tahu bahwa aku juga punya perasaan dan diperlakukan seperti itu tidaklah menyenangkan. Apalagi, ia melakukannya dengan menyindir halus.

Beberapa kali aku mendapati ada orang melakukan demikian. Dia memang tidak menyebut namaku. Tapi, ia menggunakan sebutan pengganti untukku dan orang bisa mengerti referensi itu.

Kalimat bicaranya biasanya seperti ini: “Aku punya seseorang yang punya sifat positif A, B, C yang tidak seperti [sebutan pengganti] itu” atau “Seseorang ini bisa [kata kerja positif] dan aku nggak mengira bisa seberuntung ini setelah [referensi kejadian tertentu] terjadi padaku”. Aku rasa kamu mengerti maksudku.

Menuliskan ini mungkin terkesan seperti standar ganda. Perlu kuakui bahwa aku sedang kesal sekali saat ini. Jika kamu tidak suka, tidak apa-apa. Tulisan ini hanya bertujuan menjadi pengingat bahwa aku masih punya kontrol atas emosiku dan memilih untuk tidak membuat orang lain merasa bertanggungjawab atas masa laluku.

Hmmm, aku tidak tahu, tapi bisa jadi kamu permah atau sedang berada di posisiku saat ini. Ya aku bukanlah orang tanpa kesalahan, tapi kuharap — setelah tulisan ini kuunggah — aku tidak lupa bahwa, saat membicarakan hal buruk soal orang lain, aku nggak membuat hidupnya lebih baik — malah bisa jadi lebih buruk. Istilahnya mah, memperkeruh keadaan.

Beberapa orang mungkin lupa bahwa ucapan, tulisan, dan tindakannya bisa merusak sesuatu tanpa ia sadari. Seperti, memuji Si A dengan membandingkan, menjelekkan, atau menjatuhkan Si B. Ada juga beberapa orang yang menyadari bahwa semua ucapan, tulisan, dan tindakan yang seseorang lakukan itu pilihan. Orang bisa memilih untuk melakukan dan tidak.

Menjadi marah itu lumrah. Menurutku, marah pun bisa jadi emosi yang sehat asal bisa dikontrol dengan baik dan tidak merugikan orang lain. Makanya, aku memilih untuk tidak melakukan apa yang ia lakukan padaku. Jika aku membalas, kapan perkara ini akan berakhir? Males juga ya, harus memperpanjang drama yang tidak perlu.

Jika kamu juga berada dalam situasi ini, aku mendoakan kita agar diberi ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa kamu ubah; keberanian untuk mengubah hal yang bisa kamu ubah; dan hikmat untuk membedakan keduanya.

--

--

M.

Halo, aku punya perasaan buruk tentang diri sendiri. Harap maklum untuk tulisan 40% kegundahan batin, 35% kegaduhan kepala, dan sisanya kepikiran aja gitu.